TUC0GUAlGSY6Gpz8TUGoGUC8TY==
  • Default Language
  • Arabic
  • Basque
  • Bengali
  • Bulgaria
  • Catalan
  • Croatian
  • Czech
  • Chinese
  • Danish
  • Dutch
  • English (UK)
  • English (US)
  • Estonian
  • Filipino
  • Finnish
  • French
  • German
  • Greek
  • Hindi
  • Hungarian
  • Icelandic
  • Indonesian
  • Italian
  • Japanese
  • Kannada
  • Korean
  • Latvian
  • Lithuanian
  • Malay
  • Norwegian
  • Polish
  • Portugal
  • Romanian
  • Russian
  • Serbian
  • Taiwan
  • Slovak
  • Slovenian
  • liish
  • Swahili
  • Swedish
  • Tamil
  • Thailand
  • Ukrainian
  • Urdu
  • Vietnamese
  • Welsh

Keseriusan Budaya Belajar di Korea: Prestasi Akademik vs Kesehatan Mental

Featured Image

Budaya Belajar di Korea Selatan yang Menyentuh Kesehatan Mental

Budaya belajar di Korea Selatan telah menjadi perhatian global selama bertahun-tahun. Sistem pendidikan negara ini dikenal dengan disiplin yang tinggi dan keseriusan dalam mempersiapkan siswa untuk masuk ke universitas bergengsi. Namun, di balik prestasi akademik yang mengesankan, banyak pelajar justru terjebak dalam tekanan berlebihan yang memengaruhi kesehatan mental mereka.

Sebuah laporan menunjukkan bahwa sekolah tidak pernah benar-benar berakhir bagi sebagian besar siswa. Setelah hari sekolah biasa, banyak dari mereka masih harus mengikuti les tambahan hingga larut malam. Hal ini menunjukkan bahwa proses belajar tidak lagi terbatas pada ruang kelas, melainkan merambah ke pusat bimbingan belajar atau yang dikenal sebagai hagwon.

Tekanan belajar yang ekstrem semakin meningkat karena kompleksitas sistem penerimaan perguruan tinggi. Siswa di tingkat menengah dan atas sering menghabiskan beberapa jam dalam kelas privat, sehingga waktu untuk bersantai menjadi sangat terbatas. Akibatnya, kesempatan untuk bermain atau beristirahat hampir hilang dari kehidupan sehari-hari para pelajar.

Dampak pada Kesehatan Mental

Dampak dari beban tersebut terasa nyata pada kesehatan mental generasi muda. Studi menemukan indikasi serius seperti depresi, kecemasan, bahkan pikiran untuk bunuh diri. Banyak siswa menengah dan atas mengalami penderitaan akibat masalah kesehatan mental yang serius. Data ini mengungkap sisi gelap dari sistem pendidikan yang terlalu menekankan pada prestasi akademik.

Pemerintah Korea Selatan menyadari masalah ini dan mencoba mengambil langkah-langkah untuk mengurangi tekanan. Salah satunya adalah menghapus soal-soal sulit dalam ujian masuk perguruan tinggi serta membatasi jam operasional hagwon. Namun, kebijakan ini dinilai belum menyentuh akar masalah. Fenomena hagwon mencerminkan tekanan sosial yang besar, di mana banyak orang tua merasa wajib menyekolahkan anak mereka di lembaga bimbingan belajar, meskipun ada aturan pembatasan jam malam.

Tekanan Sosial dan Ekonomi

Di balik tekanan itu, ada dimensi sosial-ekonomi yang tidak bisa diabaikan. Masuknya anak ke universitas ternama sering dipandang sebagai tiket menuju pekerjaan bergengsi dan mobilitas sosial. Itulah sebabnya keluarga rela mengorbankan waktu, energi, bahkan biaya besar untuk pendidikan tambahan. Tanpa reformasi sistem kerja dan pendidikan tinggi, siklus ini sulit diputus.

Konsekuensi dari pola ini adalah berkurangnya keseimbangan hidup siswa. Waktu untuk olahraga, seni, atau sekadar beristirahat semakin sempit. Siswa cenderung kurang tidur, terisolasi dari kehidupan sosial yang sehat, dan akhirnya kehilangan ruang untuk berkembang secara holistik.

Keberhasilan dan Harga yang Mahal

Meski begitu, perlu diakui bahwa sistem pendidikan Korea Selatan berhasil melahirkan lulusan dengan daya saing tinggi. Mereka sering menorehkan prestasi di tingkat internasional. Namun, keberhasilan ini dibayar dengan harga yang tidak kecil: meningkatnya masalah kesehatan mental di kalangan remaja dan munculnya ketimpangan sosial akibat biaya hagwon yang mahal.

Beberapa kelompok masyarakat mulai menyerukan perubahan mendasar. Mereka menekankan pentingnya pendidikan yang lebih seimbang, di mana prestasi akademik tidak menjadi satu-satunya tolok ukur kesuksesan. Kampanye kesehatan mental bagi siswa juga mulai digencarkan, meski perubahan budaya tentu membutuhkan waktu panjang.

Tantangan yang Menghantui

Pada akhirnya, dilema besar masih menghantui Korea Selatan: bagaimana menjaga reputasi sebagai negara dengan pendidikan unggul tanpa mengorbankan kebahagiaan dan kesehatan generasi mudanya. Jawabannya mungkin bukan hanya soal kebijakan teknis, melainkan transformasi budaya yang menempatkan manusia, bukan sekadar prestasi, sebagai pusat dari pendidikan.

Keseriusan Budaya Belajar di Korea: Prestasi Akademik vs Kesehatan Mental

0

0 Komentar untuk "Keseriusan Budaya Belajar di Korea: Prestasi Akademik vs Kesehatan Mental"