
Penolakan terhadap Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang Semakin Intensif
Insiden keracunan yang terjadi akibat program Makan Bergizi Gratis (MBG) semakin meningkat, memicu penolakan dari berbagai pihak, termasuk orang tua siswa dan sekolah. Di tengah situasi ini, sejumlah institusi pendidikan memilih untuk tetap menjalankan program makanan bergizi mandiri mereka sendiri, alih-alih mengikuti MBG.
Sejak awal tahun ini, jumlah korban keracunan terkait MBG telah mencapai lebih dari 11.000 orang, menurut data Kementerian Kesehatan per 5 Oktober. Hal ini memicu gelombang penolakan terhadap program tersebut, khususnya di kalangan wali murid dan pengelola sekolah. Sejumlah lembaga pendidikan, seperti SD Muhammadiyah 1 Ketelan di Solo, Jawa Tengah, memutuskan untuk tidak melaksanakan MBG dan memilih program makanan bergizi mandiri yang sudah berjalan selama bertahun-tahun.
Dapur Sehat SD Muhammadiyah 1 Ketelan: Solusi Alternatif
Di SD Muhammadiyah 1 Ketelan, dapur sehat telah berdiri sejak 2015, jauh sebelum program MBG dimulai. Bangunan dapur ini memiliki sertifikat kebersihan dari berbagai lembaga pemerintahan. Lima pegawai perempuan bekerja di sini, mempersiapkan makan siang untuk 680 orang, termasuk 615 siswa dan 65 karyawan. Menu yang disajikan adalah nasi kari, dan setiap hari menu bervariasi sesuai dengan rencana bulanan yang telah diumumkan kepada orang tua melalui grup kelas.
Siswa seperti Selena, 8 tahun, menyukai menu dari dapur sehat karena rasanya enak dan aman. Ia memilih makanan dari dapur sekolah daripada MBG karena takut akan risiko keracunan. Winarsi, pengelola dapur sehat, menjelaskan bahwa dapur ini dirancang untuk menyediakan makanan yang benar-benar sehat dan memberikan pendidikan karakter kepada siswa, seperti membiasakan mereka makan sayur.
Dapur sehat ini juga menjaga transparansi menu dengan memberikan informasi lengkap kepada orang tua. Jika ada siswa dengan alergi, orang tua dapat memberitahu sekolah agar menu dapat disesuaikan. Selain itu, pihak sekolah juga menggandeng Dinas Kesehatan Solo untuk memastikan gizi dalam setiap menu.
Dapur Mandiri di Pamekasan dan Tasikmalaya
Di Pamekasan, Jawa Timur, Raudhatul Athfal (RA) Insan Cendekia dan Madrasah Ibtidaiyah Al-Qur'an Internasional (MIQI) Darussalam memilih untuk melanjutkan program makan bergizi mandiri yang sudah berjalan selama tiga tahun. Meskipun program ini tidak gratis, orang tua lebih percaya dengan kualitas makanan yang disajikan. Biaya iuran harian sekitar Rp5.000 per siswa dikelola oleh lembaga pendidikan, dan menu disesuaikan dengan kebutuhan siswa.
Di Tasikmalaya, LPI Yayasan Al Muttaqin telah menyediakan makan siang bagi muridnya sejak 29 tahun lalu. Dapur sekolah ini memiliki tiga dapur yang dikelola secara mandiri, satu untuk setiap jenjang pendidikan SD, SMP, dan SMA. Setiap jenjang memiliki menu yang disesuaikan dengan kebutuhan gizi anak-anak. Misalnya, porsi makan untuk siswa SMP lebih banyak karbohidrat dibandingkan siswa SD.
Pengelolaan Makan Siang yang Terstruktur
Pihak sekolah di Tasikmalaya juga melibatkan ahli gizi untuk memastikan kualitas gizi peserta didik. Dana operasional berasal dari iuran orang tua dan dikelola oleh yayasan. Orang tua diberi keleluasaan untuk mengusulkan menu dan memantau proses memasak. Menu harian dan bulanan dipasang di dinding dapur, sehingga orang tua dapat memperkirakan apa yang akan diberikan kepada anak-anak.
Proses penyajian makan siang dilakukan secara bertahap, mulai dari pukul 03:00 WIB hingga pukul 11:00 WIB. Makanan yang sudah matang kemudian dibagikan ke siswa sesuai kelas masing-masing. Untuk siswa kelas 1 dan 2, makan siang dibagikan di ruang kelas, sedangkan siswa kelas 3 hingga 6 mengambil sendiri.
Kepercayaan Orang Tua terhadap Dapur Sekolah
Orang tua seperti Ela mengungkapkan bahwa keberadaan dapur mandiri sangat membantu. Anaknya yang dulunya pemilih kini mulai menerima semua jenis makanan yang disajikan di sekolah. Ela juga mengapresiasi keleluasaan yang diberikan kepada orang tua untuk turut memantau proses penyajian makan siang.
Ahli gizi, dokter Tan Shot Yen, menyatakan bahwa makanan dari dapur mandiri sekolah telah memenuhi gizi jika konsep "Isi Piringku" dijalankan dengan baik. Konsep ini menekankan pembagian piring menjadi dua bagian besar: separuh diisi sayur dan buah, separuh sisanya makanan pokok dan protein. Menurut dokter Tan, makanan sehat tidak perlu aneh-aneh, cukup sederhana dan murah namun tetap memenuhi kebutuhan gizi.
Solusi untuk Daerah Terpencil
Dokter Tan juga menilai bahwa inisiatif dapur mandiri bisa diterapkan di daerah 3T—terdepan, terluar, terpencil—yang menjadi target utama MBG. Ia mengkritik skema MBG yang terpusat melalui Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG), yang menghadapi kesulitan dalam memastikan pengiriman makanan yang tepat waktu dan berkualitas ke daerah-daerah yang sulit dijangkau.
Menurut dokter Tan, solusi yang lebih efektif adalah pendekatan inklusif, yaitu merangkul masyarakat dan membuat mereka merasa memiliki program tersebut. Dengan demikian, program akan lebih ramah dan berkelanjutan.
Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, Abdul Mu'ti, menyatakan bahwa pemerintah saat ini membuka opsi agar program MBG tidak lagi sepenuhnya terpusat, melainkan melibatkan sekolah yang siap mengelola penyediaan makanan secara mandiri melalui konsep dapur sekolah. Ini merupakan langkah penting untuk meningkatkan kepercayaan masyarakat dan memastikan kualitas makanan yang diberikan kepada siswa.
0 Komentar untuk "Sekolah Kelola Dapur Mandiri Hadapi Ribuan Kasus Keracunan MBG"